Yah, ingin aku percaya kata-katamu itu : aku mencintaimu; aku menyayangimu; kau satu-satunya buatku. Tapi itu bullshit! BOHONG! Buktinya kau mencintai orang lain, dan aku bukan yang utama buatmu!
Hah, aku ingat. Kau juga bilang kau tak punya rasa dengannya. Tapi—kini—setelah semuanya terbongkar, aku mengerti, kau katakan itu hanya untuk menutupinya serapat mungkin. Aku benar, bukan?
Dan, aku juga ingat. Dia—yang kini selalu bersamamu—pernah mengungkapkan kata-kata yang takkan pernah keluar dari mulutku. Kata-kata yang mungkin jika kau tahu, takkan menbuatmu berpaling dariku hanya untuk gadis seperti dia.
Tapi, sepertinya aku tak seharusnya bersedih dengan kejadian ini. Karena dengan adanya kejadian ini aku jadi mengerti seperti apa dirimu, bagaimana perasaanmu yang sesungguhnya terhadapku. Aku harus berterimakasih pada Tuhan.
Yeah, setidaknya itu yang membuatku sedikit lebih baik, aku merasa tidak benar-benar dibuang.
Kupejamkan mataku sejenak. Merenungi apa salahku; apa yang belum kuperbuat untuk mempertahankan dirimu. Tapi aku selalu menghentikan itu. Mau bagaimanapun kau bukan lagi untukku.
Tapi akrinya kau datang kehadapanku. Berusaha terlihat sekeren mungkin, kau katakan ini :
“Aku ingin memperbaiki segalanya. Aku ingin kembali.”
Hah, andai kau ingat apa yang telah kau perbuat sebulan yang lalu. Kau tinggalkan aku untuk dia—yang tidak lebih baik dariku. Seharusnya kau masih punya sedikit otak saat kau lakukan itu. Setidakya kau tinggalkan aku untuk seseorang yang—setidaknya sedikit—lebih baik dari padaku!
Aku yang malu karena itu. Orang sekitarku membicarakanmu dengannya. Katanya dia tak pantas bersaing denganku. Hah, kau tau apa artinya itu? Aku lebih baik darinya!
Tapi, mungkin kau juga menyadari itu. Makanya kau ingin kembali. Tapi tak semudah itu. Tak mudah buatku kembali pada orang yang sudah menyakitiku, bahkan yang sudah membuangku!
Seperti dulu—kalau kau masih ingat—saat kau mencoba melakukan pendekatan denganku. Kau tahu butuh waktu berapa lama untuk itu? Tiga bulan. Bukan waktu yang singkat, kau tahu?
Kini setelah kau sakiti aku, kau ingin kembali. Aku tak tau selanjutnya apa yang akan kau lakukan padaku. Mungkin kau akan ‘menyukaiku’ lagi, dan kemudian ‘membuangku’ lagi.
Huhh, betapa kejamnya dunia...
Yah, bagaikan terulang kembali. Kau mencoba mengejarku seperti dulu. Aku tak percaya kau seperti ini. Susah payah hanya untuk kembali pada seseorang yang pernah kau buang. Hanya buang-buang waktu. Dan, jujur saja, aku terganggu dengan itu. Kumohon, berhentilah!
Mungkin hati nuraniku masih berfungsi dengan sangat baik, atau mungkin juga sudah rusak, sampai-sampai aku mau kembali padamu.
Seperti anak kecil kau melompat kegirangan dan mengatakan pada setiap orang yang kau temui bahwa ‘kita’ sudah kembali.
Ingin aku bahagia dengan kenyataan ini, tapi belum sempat aku merasakannya, sampai akhrinya kau lakukan ‘itu’ lagi. Bukan—lebih tepanya—kau buang aku lagi.
Kali ini bukan untuk gadis kesekian yang menggantikan posisiku, tapi karena lima ratus ribu rupiah yang kau taruhkan dengan teman-temanmu itu!
Saat aku tau itu, aku berpikir kau bukan manusia.
“Kau tidak tau betapa sakitnya jatuh kedalam lubang yang sama, dengan orang yang sama, dengan luka yang sama.”
Kau hanya bisa mengatakan maaf. Kata yang kau pikir selalu bisa membuatku memaafkanmu. Tidak! Tidak sama sekali. Tidak dulu, maupun sekarang!
Aku benci dirimu yang bodoh. Aku benci dirimu yang plin-plan. Aku benci dirimu yang membuatku lebih bodoh dari seekor keledai!
[Johana Yoe]